Ahayyy, kumusta
kaibigan. Sekedar mereview hari- hari seminggu belakangan ini. *Itu juga kalau
ada yang mau tahu* Banyak hal yang membuat bete dan menghilangkan semangat
untuk menulis, seperti tentang ponselku yang telah mati dengan damai dan
membuatku hidup ku terasa suram. Sebagai gadget addict, saya gak bisa lepas
dari handphone. Bahkan bangun tidurpun, handphone adalah barang pertama yang
saya cari.
Dan
sekarang....... Ah, sudahlah! Kenapa juga saya malah curhat?????
Back to topic yang
mau saya tulis deh. Sesuai judul . Grafomania. Awalnya saya gak tahu tentang
ini. Tapi pembicaraan dengan seorang teman menggugah saya untuk nanya- nanya
Mbah Google. Apa sih Grafomania itu????
Well, pertanyaan
saya dijawab oleh tante Wikipedia.
Graphomania (from Greek γραφειν — writing, [ 1 ] and μανία — insanity),
also known as scribomania , refers to an obsessive impulse to write . [ 2 ] [ 3 ] When used in a specifically
psychiatric context, it labels a morbid mental condition which results in
writing rambling and confused statements, often degenerating into a meaningless
succession of words or even nonsense and called then graphorrhea [ 4 ] (cf. hypergraphia ). The
term 'graphomania' has been used in early 19th century by Esquirol and later by Eugen Bleuler , becoming more or less
usual [ 5 ] Graphomania is near
condition to typomania - obsessiveness with
seeing one's name in publication or with writing for being published, excessive
symbolism or typology. [ 6 ]
Terjemahan bebas
versi saya:
Grafomania yang juga
dikenal dengan nama scribomania (gak ada hubungannya dengan kribo beneran J ) merujuk pada
obsesi yang implusif untuk menulis. Ketika istilah itu digunakan pada konteks
psikiatri, grafomania merujuk pada kondisi mental morbid yang menghasilkan
penulisan bertele- tele dan membingungkan, bahkan menjadi omong kosong
(graphorrhea) . Istilah grafomania sudah digunakan di awal abad ke 19 oleh
Esquirol dal kemudian oleh Eugen Bleuler menjadi biasa. Istilah ini juga dekat
dengan typomania- obsesi yang berlebihan dengan publikasi atau menulis untuk
dipublikasikan.
Ada jeda beberapa
menit sebelum saya mengetik lagi.
Mungkinkah saya
memang grafomania????? –dengan tampang penasaran-.
Ehm, mungkin iya, saya punya obsesi berlebihan untuk
menulis agar orang tahu kalau saya bisa menulis. Apa aja ditulis. Tapi setelah
dibaca ulang kok hasilnya aneh – menunjukkan kepribadian dan pemikiran saya yang
aneh- .
Merujuk pada
pendapat Milan Kundera, Grafomania adalah sebuah kegilaan seseorang agar
tulisannya dibaca orang. Anyway, ketika membaca pendapat seorang Kundera ini, saya
sedikit flashback dengan membuka facebook dan membaca status- status yang
pernah saya posting dari awal membuat akun facebook sampai status yang saya
buat baru- baru ini. Saya sering memposting status yang tujuannya adalah supaya
orang tahu apa yang saya pikirkan (dalam hal ini saya ingin bilang bahwa saya
ingin dibela tanpa mengatakan secara langsung) .Pendeknya saya ingin tulisan
saya dibaca orang (yah, kalau mengetik status di facebook atau sosial media
lainnya bisa disebut menulis, ahayyyy).
Saya jadi tergerak membaca
ulang tulisan- tulisan yang saya pernah saya tulis (baik yang pernah dan belum
dipublikasikan. Baik cerpen dan novel atau blog ini) Inti dari semuanya adalah
narsisme dan ingin pamer (well,
sebenarnya agak berat untuk mengakui ini). Sebagai seorang yang intovert
dan tidak pernah menjadi pusat perhatian di dunia nyata, saya membangun dunia
khayal di otak dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Saya ingin orang membaca
dan saya merasa bangga dengan itu.
Menurut pendapat
Kundera lagi, grafomania muncul ketika seseorang sudah sejahtera dan bisa
melakukan hal- hal yang tidak berguna ketika seseorang itu semakin terisolasi
dari dunia luar. Beliau juga bilang bahwa akan ada saat di mana banyak orang
mengaku sebagai penulis, bukan karena telah menulis sebuah buku tapi karena
semua orang bisa menulis, walaupun hanya sebaris kata di sosial media (seperti kata beliau
sebelumnya: ingin tulisannya di baca orang).
Grafomania juga
dekat dengan eksebisionisme. Saya sedikit tersentil ketika membaca sebuah blog
yang menulis dengan tema serupa. Ketika seorang blogger (saya termasuk enggak,
ya?) mempublish tulisannya, sebenarnya ia ingin pembacanya mengetahui sisi
terdalam dalam dirinya, bukan ingin
terlihat pintar tapi butuh teman senasib yang sepemikiran.
Salah satu pendapat
Kundera yang lain yang juga menyentil saya.
“For everyone is
pained by the thought of dissappearing, unheard and unseen, into an indifferent
universe, and because of that everyone wants, while there is still time, to
turn himself into a universe of words. One morning (and it will be soon). When everyone wakes up as a
writer, the age of universal deafness and incomprhension will have arrived.”
Ah, lagi- lagi. Kadang,
saya juga merasa tersakiti karena merasa invisible, tak terdengar dan tak
terlihat. Merasa berada di dunia yang berbeda dengan orang lain. Mengalihkan
sesuatu yang saya damba dan tidak saya dapat ke dalam sebuah tulisan. Apa mungkin saya akan benar- benar ‘tuli’?
Mengutip kata
Kundera lagi, seorang grafomaniak dikelilingi kata- katanya sendiri yang
berdiri tegak seperti tembok penjara dan dia menjadi tuli karenanya.
Setelah membaca
kata- kata Om Kundera ini, saya kembali berhenti sejenak. Sepertinya, saya
termasuk orang- orang yang disebut oleh penulis asal Ceko itu. Saya menjadi tuli dengan keadaan luar, merasa
diri sendiri lebih baik dan tidak perlu tanya- tanya pendapat orang. Padahal kenyataannya tulisan saya tidak lebih
dari sekedar..... Ah sudahlah, tidak perlu diteruskan. Orang- orang juga tidak peduli dengan apa yang
saya tulis (dalam blog ini, misalnya) tapi saya akan terus menulis. Menjadi
seorang grafomania atau tidak, saya akan tetap menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar