Entri Populer

Kamis, 17 September 2015

Saya (Mungkin) Seorang Grafomaniak?

Ahayyy, kumusta kaibigan. Sekedar mereview hari- hari seminggu belakangan ini. *Itu juga kalau ada yang mau tahu* Banyak hal yang membuat bete dan menghilangkan semangat untuk menulis, seperti tentang ponselku yang telah mati dengan damai dan membuatku hidup ku terasa suram. Sebagai gadget addict, saya gak bisa lepas dari handphone. Bahkan bangun tidurpun, handphone adalah barang pertama yang saya cari.
Dan sekarang....... Ah, sudahlah! Kenapa juga saya malah curhat?????
Back to topic yang mau saya tulis deh. Sesuai judul . Grafomania. Awalnya saya gak tahu tentang ini. Tapi pembicaraan dengan seorang teman menggugah saya untuk nanya- nanya Mbah Google.  Apa sih Grafomania itu????
Well, pertanyaan saya dijawab oleh tante Wikipedia.
Graphomania (from Greek γραφειν — writing, [ 1 ] and μανία — insanity), also known as scribomania , refers to an obsessive impulse to write . [ 2 ] [ 3 ] When used in a specifically psychiatric context, it labels a morbid mental condition which results in writing rambling and confused statements, often degenerating into a meaningless succession of words or even nonsense and called then graphorrhea [ 4 ] (cf. hypergraphia ). The term 'graphomania' has been used in early 19th century by Esquirol and later by Eugen Bleuler , becoming more or less usual [ 5 ] Graphomania is near condition to typomania - obsessiveness with seeing one's name in publication or with writing for being published, excessive symbolism or typology. [ 6 ]
Terjemahan bebas versi saya:
Grafomania yang juga dikenal dengan nama scribomania (gak ada hubungannya dengan kribo beneran J ) merujuk pada obsesi yang implusif untuk menulis. Ketika istilah itu digunakan pada konteks psikiatri, grafomania merujuk pada kondisi mental morbid yang menghasilkan penulisan bertele- tele dan membingungkan, bahkan menjadi omong kosong (graphorrhea) . Istilah grafomania sudah digunakan di awal abad ke 19 oleh Esquirol dal kemudian oleh Eugen Bleuler menjadi biasa. Istilah ini juga dekat dengan typomania- obsesi yang berlebihan dengan publikasi atau menulis untuk dipublikasikan.
Ada jeda beberapa menit sebelum saya mengetik lagi.
Mungkinkah saya memang grafomania????? –dengan tampang penasaran-.
Ehm,  mungkin iya, saya punya obsesi berlebihan untuk menulis agar orang tahu kalau saya bisa menulis. Apa aja ditulis. Tapi setelah dibaca ulang kok hasilnya aneh – menunjukkan kepribadian dan pemikiran saya yang aneh- . 
Merujuk pada pendapat Milan Kundera, Grafomania adalah sebuah kegilaan seseorang agar tulisannya dibaca orang. Anyway, ketika membaca pendapat seorang Kundera ini, saya sedikit flashback dengan membuka facebook dan membaca status- status yang pernah saya posting dari awal membuat akun facebook sampai status yang saya buat baru- baru ini. Saya sering memposting status yang tujuannya adalah supaya orang tahu apa yang saya pikirkan (dalam hal ini saya ingin bilang bahwa saya ingin dibela tanpa mengatakan secara langsung) .Pendeknya saya ingin tulisan saya dibaca orang (yah, kalau mengetik status di facebook atau sosial media lainnya bisa disebut menulis, ahayyyy).
Saya jadi tergerak membaca ulang tulisan- tulisan yang saya pernah saya tulis (baik yang pernah dan belum dipublikasikan. Baik cerpen dan novel atau blog ini) Inti dari semuanya adalah narsisme dan ingin pamer (well,  sebenarnya agak berat untuk mengakui ini). Sebagai seorang yang intovert dan tidak pernah menjadi pusat perhatian di dunia nyata, saya membangun dunia khayal di otak dan menuangkannya dalam sebuah tulisan. Saya ingin orang membaca dan saya merasa bangga dengan itu.
Menurut pendapat Kundera lagi, grafomania muncul ketika seseorang sudah sejahtera dan bisa melakukan hal- hal yang tidak berguna ketika seseorang itu semakin terisolasi dari dunia luar. Beliau juga bilang bahwa akan ada saat di mana banyak orang mengaku sebagai penulis, bukan karena telah menulis sebuah buku tapi karena semua orang bisa menulis, walaupun hanya sebaris kata  di sosial media (seperti kata beliau sebelumnya: ingin tulisannya di baca orang).
Grafomania juga dekat dengan eksebisionisme. Saya sedikit tersentil ketika membaca sebuah blog yang menulis dengan tema serupa. Ketika seorang blogger (saya termasuk enggak, ya?) mempublish tulisannya, sebenarnya ia ingin pembacanya mengetahui sisi terdalam dalam dirinya,  bukan ingin terlihat pintar tapi butuh teman senasib yang sepemikiran.
Salah satu pendapat Kundera yang lain yang juga menyentil saya.
“For everyone is pained by the thought of dissappearing, unheard and unseen, into an indifferent universe, and because of that everyone wants, while there is still time, to turn himself into a universe of words. One morning (and it  will be soon). When everyone wakes up as a writer, the age of universal deafness and incomprhension will have arrived.”
Ah, lagi- lagi. Kadang, saya juga merasa tersakiti karena merasa invisible, tak terdengar dan tak terlihat. Merasa berada di dunia yang berbeda dengan orang lain. Mengalihkan sesuatu yang saya damba dan tidak saya dapat ke dalam sebuah tulisan.  Apa mungkin saya akan benar- benar ‘tuli’?
Mengutip kata Kundera lagi, seorang grafomaniak dikelilingi kata- katanya sendiri yang berdiri tegak seperti tembok penjara dan dia menjadi tuli karenanya.

Setelah membaca kata- kata Om Kundera ini, saya kembali berhenti sejenak. Sepertinya, saya termasuk orang- orang yang disebut oleh penulis asal Ceko itu.  Saya menjadi tuli dengan keadaan luar, merasa diri sendiri lebih baik dan tidak perlu tanya- tanya pendapat orang.  Padahal kenyataannya tulisan saya tidak lebih dari sekedar..... Ah sudahlah, tidak perlu diteruskan.  Orang- orang juga tidak peduli dengan apa yang saya tulis (dalam blog ini, misalnya) tapi saya akan terus menulis. Menjadi seorang grafomania atau tidak, saya akan tetap menulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar